BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Di Indonesia tradisi
selamatan sangat kuat apa lagi dikalangan masyarakat Jawa. Mereka sering mengadakan acara selametan dalam waktu-waktu yang mereka anggap spesial.
Ada berbagai macam selametan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa khususnya.
Seperti
selamatan bangun rumah, aqiqah, pernikahan, nujuh bulan dll. Tiap dari upacara yang dilaksanakan sebenarnya
memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan tetapi masyarakat sendiri
kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna mengadakan upacara selametan. Kebanyakan dari mereka hanya
mengikuti tradisi secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya
lebih lanjut.
Di makalah ini penulis
memilih tradisi selamatan Nujuh Bulan dalam masyarakat Jawa. Karena, rumitnya
ritual selamatan nujuh bulan ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan
materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-tahap tersebut diyakini oleh
masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari pemilihan hari
dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ada.
Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan segera merespon negatif terhadap
hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya tentu membutuhkan
dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya, khususnya piranti yang berupa
makanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum pelaksanaan acara. Bahkan
ada beberapa piranti yang harus terbuang sia-sia. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang
belum sadar akan hal itu, bahkan menganggapnya wajar.
Untuk itu penulis memilih
tema tradisi selamatan Nujuh Bulan yaitu salah satu tradisi selamatan
dikalangan masyarakat Jawa.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Selamatan Nujuh Bulan
2. Asal-usul tradisi selamatan “Nujuh
Bulan”
3. Tata cara selamatan “Nujuh Bulan”
4. Tujuan
dan Manfaat selamatan “Nujuh
Bulan”
5. Kaitan
Nujuh Bulan dengan Ajaran Islam
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Tradisi selamatan
“Nujuh Bulan”
2. Untuk mengetahui Asal-usul tradisi
selamatan “Nujuh Bulan”
3. Untuk mengetahui Tata cara selamatan
“Nujuh Bulan”
4. Untuk
mengetahui Tujuan dan manfaat selamatan Nujuh Bulan
5. Untuk
mengetahui Kaitan Nujuh Bulan dengan ajaran islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Selametan dan
Selamatan Nujuh Bulan
Dalam buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa,
slametan diartikan sebagai upacara sedekah makanan dan doa bersama, yang
bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang
menyelenggarakan. Slametan sendiri berasal dari kata slamet yang berarti
selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari
insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sehingga slametan bisa diartikan
sebagai kegiatan-kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai
pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang
lebih besar. Dengan demikian,
slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur
umum. Upacara slametan termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk
mendapat Ridha dari Tuhan. Kegiatan slametan menjadi tradisi hampir seluruh
kehidupan di pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakinibahwa slametan adalah
syarat spiritual yang wajib, dan jika dilanggar akan mendapatkan
ketidakberkahan atau kecelakaan.
Selamtan nujuh bulan biasa disebut dengan mithoni atau tingkeban disebut
mithoni, karena upacara dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan. Dalam
bahasa jawa tujuhadalah pitu maka jadilah sebutan
mithoni. Disebut tingkeban yakni, selamatan kehamilan usia 7 bulan dimana
“sudah tingkeb” yang artinya “tutup”, maksudnya si ibu yang sedang
mengandung 7 bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh
hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang
dikandung sudah mulai besar hal ini dilakukan untuk menghidari hal-hal yang
tidak diinginkan.
Selamatan bulan ketujuh kehamilan biasanya
dilakukan oleh orang jawa yang sering disebut tradisi minthoni. Tujuan utama tradisi selamatan nujuh
bulan yang sudah berlangsung turun-temurun ini adalah memohon kepada Tuhan agar
ibu yang hamil dan bayi dalam kandungannya selamat hingga lahir Tradisi ini
juga dilakukan oleh orang yang bukan orang jawa, Selamatan nujuh bulan dilakukan
setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih.Biasanya dilakukan
saat kehamilan anak pertama.
B. Asal Usul Selamata Nujuh Bulan
Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau
disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang
masih dalam kandungan selama tujuh bulan.Tradisi ini berawal ketika
pemerintahan Prabu Jayabaya.Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken
Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan
anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya
segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja,
keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu:
1. Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00,
diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera:
“Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing
jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun.Ingsun pudya sampurna dadi
manungsa.”
2. Setelah mandi lalu berganti pakaian yang
bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi
Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu
di-brojol-kan ke bawah.
3. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun
tebu tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi
di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi
dasar masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang.
Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini
merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu melakukan
kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh
ternoda, maka dari itu harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak
saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban
atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan.
Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol
budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan
lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat
dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan.Ini menunjukkan sikap hati-hati
orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur.Itulah sebabnya, bayi berumur
tujuh bulan harus disertai laku prihatin.Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah
seperti ‘sapta kukila warsa’, artinya burung yang kehujanan.Burung tersebut
tampak lelah dan kurang berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang
paling mujarab adalah berdoa agar bayinya lahir selamat.
C. Tata Cara Selamatan Nujuh Bulan
Mitoni atau
selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7
bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun
kurang sehari. Belum ada neptu atau weton (hari masehi +
hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksanaan, yang
penting ambil hari selasa atau sabtu. Tujuan mitoni atau tingkeban agar
supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan
Mitoni tidak dapat diselenggarakan
sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan
upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang
sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada
waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara
biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu
senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk
memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak
mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang
keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan
upacara.
Tata caranya:
Pertama, pengajian dengan membaca ayat-ayat suci
Al Quran, terutama Surat Yusuf dan Surat Maryam, serta memanjatkan doa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembacaan ayat Surat Yusuf dimaksudkan agar bayi
yang akan lahir kelak dapat meneladani sifat-sifat Nabi Yusuf serta mempunyai
paras yang rupawan, sedangkan Surat Maryam agar bayi yang akan dilahirkan kelak
memiliki paras cantik seperti Maryam. Akan tetapi karna
teknologi medis sudah sedemikian canggih, sampai ditemukan USG empat dimensi,
jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.
Kedua, siraman
yang dilakukan oleh sesepuh dan suami. Tradisi siraman ini dilakukan dengan
cara memandikan wanita hamil menggunakan sekar setaman oleh para sesepuh. Sekar
setaman adalah air suci yang diambilkan dari tujuh mata air (sumur pitu)
ditaburi aneka bunga seperti kanthil, mawar, kenanga, dan daun pandan wangi.
Sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh (pitu) orang ditambah suaminya
sendiri. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran bayi kelak suci bersih.
Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan umur kandungan tujuh bulan. Tujuh
juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti pitulungun (pertolongan). Artinya,
agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan.
Ketiga, setelah siraman selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi dari kandungan ibu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari sebuah telur, bayi pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu lahir (weruh padhang hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur, diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai lambang agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan.
Keempat, Upacara ganti
pakaian 7 kali dan kain batik dengan 7 motif yang berbeda, Calon Ibu mengenakan
kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa bayi
yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan YME. Calon Ibu
berganti baju 7 kali dengan di iringi pertanyaan “ sudah pantas belum?”, dan di
jawab oleh ibu ibu yang hadir “ belum pantas” sampai yang terakhir ke tujuh
kali di jawab “ pantas”. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih
yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan
yang tersirat dalam lambang kain. Motif kain tersebut adalah:
1. sidomukti (melambangkan kebahagiaan) Maknanya agar bayi yang
akan lahir akan selalu mendapatkan cinta dan kasih oleh sesama dan memiliki
sifat belas kasih.,
2. sidoluhur (melambangkan kemuliaan), Maknanya agar bayi yang akan lahir akan
memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan santun
3. truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang
teguh) Maknanya agar
keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi
4. parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
5. semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi
menjadi bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
6. udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak
yang akan lahir selalu menyenangkan),
7. cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat
mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya)
Sebagai informasi, kain yang di pakai pada upacara
berganti busana memiliki beberapa pilihan motif yang semua nya dapat dimaknai
secara baik
Kelima, kain batik yang dikenakan pada wanita
hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih) atau diganti dengan benang
putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning
tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak
merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang
putih (lawe) merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta
(puser) si bayi. Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah
dipatahkan oleh suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur
kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri
tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan
amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau
kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur.
Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan.
Keenam, seorang suami memegang kelapa gading muda yang dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih , kemudian diteroboskan ke
dalam kain yang dipakai wanita hamil ke arah perut (ke bawah). Kelapa gading
tersebut menggelinding lalu diterima oleh calon nenek (ibu dari wanita hamil).
Calon nenek tersebut segera menggendong kelapa gading muda. Setelah selesai,
calon nenek dari pihak besan segera meneroboskan lagi seekor belut yang masih
hidup, dan belut tersebut harus ditangkap oleh suami dan kemudian dimasukkan ke
dalam sekar setaman. Setelah menangkap belut, suami harus pergi (masuk rumah)
tanpa pamit. Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading yang
dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol harapan agar
kelak bila bayi yang lahir perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan jika lahir
laki-laki seperti Kamajaya. Belut yang dilepaskan pada sela-sela kain, harus
dikejar oleh suami sampai tertangkap, merupakan lambang agar kelahiran bayi
nanti dapat lebih cepat, licin seperti belut. Simbolisasi demikian merupakan
pola pemikiran asosiatif orang Jawa, yaitu karakteristik belut yang licin
dibandingkan dengan kelahiran bayi.
Ketujuh, setelah itu, ibu hamil diajak masuk ke kamar dalam dan
segera berdandan. Ibu hamil harus melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Pada upacara pembuatan rujak ,
calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah. Dalam tradisi Jawa, yang
membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika bumbunya rasanya asin,
biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen (kebanyakan
garam), biasanya lahir laki-laki. Yang
bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau pecahan
genteng. Uang
tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut
dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang
lahir banyak mendapatkan rezeki dan
dapat menghidupi keluarga nya.
Kedelapan, kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu:
1. Bubur
7 macam :
Kombinasi 7 macam; (1) bubur merah (2)
bubur putih (3) merah ditumpangi putih, (4) putih ditumpangi merah, (5)
putih disilang merah, (6) merah disilang putih, (7) baro-baro (bubur putih
diatasnya dikasih parutan kelapa dan sisiran gula jawa).
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur
merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan sekeluarga
Bahan:
Bubur putih gurih (dimasak pake santen) dan
bubur merah (dimasak pake gula jawa);
Bubur ditaruh di piring kecil-kecil;
2. Gudangan Mateng (sayurnya direbus) :
Bahan ; Sayur 7 macam; harus ada kangkung
dan kacang. Kangkung dan kacang panjang jangan dipotong-potong, dibiarkan
panjang saja. Semua sayuran direbus.
Bumbu gudangannya pedas.
3. Nasi Megono ; Nasi dicampur bumbu
gudangan pedes lalu dikukus.
4. Jajanan Pasar ; biasanya berisi 7 macam
makanan jajanan pasar tradisional.
5. Rujak ; bumbunya pedas dengan 7 macam
buah-buahan.
6. Ampyang ; ampyang kacang, ampyang wijen
dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan mendapatkan 7 macam ampyang, boleh
sedapatnya saja.
7. Aneka Ragam Kolo ;
Kolo kependem (kacang tanah, singkong,
talas), kolo gumantung (pepaya), kolo merambat (ubi/ketela rambat); kacang
tanah, singkong, talas, ketela, pepaya. direbus kecuali pepaya. Pepaya yang
sudah masak. Masing-masing jenis kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih
salah satu saja. Misalnya kolo kependhem; ambil saja salah satu misalnya kacang
tanah. Jika kesulitn mencari kolo yang lain; yang penting ada dua macam kolo ;
yakni cangelo; kacang tanah + ketela (ubi jalar).
8. Ketan ; dikukus lalu dibikin bulatan
sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm); warna putih, merah, hijau, coklat,
kuning.
9. Tumpeng nasi putih; kira-kira
cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang
10. Telur ; telur
ayam 7 butir.
11. Pisang ; pisang
raja dan pisang raja pulut masing-masing satu lirang/sisir.
12. Tumpeng tujuh macam warna; tumpeng
dibuat kecil-kecil dengan warna yang berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang
diwarnai
Setelah itu dimakan bersama oleh para tamu
yang hadir di acara selametan nujuh bulan yang diadakan oleh tuan rumah.
Lambang atau makna
yang terkandung dalam unsur upacara mitoni
Upacara-upacara mitoni, yaitu upacara yang diselenggarakan
ketika kandungan dalam usia tujuh bulan, memiliki simbol-simbol atau makna atau
lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
·
Sajen tumpeng,
maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada.
Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi.
·
Sajen jenang abang,
jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi
yang akan lahir.
·
Sajen berupa sega
gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
·
Cengkir gading (kelapa
muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih,
mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai
sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai
sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
·
Benang lawe atau daun
kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala
bencana yang menghadang kelahiran bayi.
·
Kain dalam tujuh motif
melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan
bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
·
Sajen dhawet mempunyai
makna agar kelak bayiyang sedang dikandung mudah kelahirannya.
·
Sajen berupa telur
yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah
maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir
nantinya adalah laki-laki.
D. Tujuan dan Manfaat diadakan Nujuh Bulan
Tujuan diadakannya tradisi selamatan nujuh
bulan ini adalah memohon keselamatan kepada
Allah Swt. (Tuhan Yang Maha kuasa). Dan
bermanfaat agar anak
yang dikandung akan terlahir dengan gangsar (mudah), sehat, selamat, fisik yang
sempurna, tidak ada gangguan apa-apa, selamatan ini bagi ibu
hamil juga akan memberikan rasa percaya diri, menguatkan ibu
dalam masa transisi perubahan peran menjadi seorang ibu, mengubah cara pandang
ibu terhadap perubahan tubuh selama kehamilan, meningkatkan rasa aman dan rasa
dihargai. Ini
sebenarnya menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui
tazkiyatun nafsi (penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa.
Artinya, wujud pengabdian diri kepada Allah Swt.
E. Kaitannya
Nujuh Bulan dengan Ajaran Islam
Secara
eksplisit sebenarnya tidak ada petunjuk yang dapat dijadikan dasar acara
tersebut, sehingga ada yang mengatakan acara tersebut sebagai suatu yang sesat (bid’ah). Sebenarnya
pelaksanaan tingkepan berangkat dari memahami hadits nabi yang diriwayatkan
oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim
perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa pada
saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan
ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya. Sekalipun dalam
hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan permohonan
pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut, maka kebiasaan
orang jawa khususnya Yogya-solo mengadakan upacara adat untuk melakukan
permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir selamat dan
menjadi anak yang soleh dan solehah.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian panjang diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, selamatan nujuh bulan
atau mithoni atau tingkeban adalah upacara yang dilaksanakan oleh ibu hamil
yang kandungannya sudah memasuki usia ke tujuh bulan, yang bertujuan
untuk memohon kesalamatan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan serta
kelancaran pada saat persalinan. Tradisi ini dipercaya berawal pada masa
Jayabaya yang di wariskan turun temurun hingga sekarang dan ditaati oleh
sebagian besar masyarakat Jawa. Adapun kaitannya dengan ajaran Islam adalah
sebagai penghormatan ketika masuknya ruh ke dalam jasad jabang bayi dengan
harapan agar ruh yang diberikan adalah ruh yang baik sehingga anak yang lahir
nantinya juga berakhlak baik pula.
Tata cara selametan nuju bulanan diawali
dengan membaca ayat suci Al-Qur’an yaitu surat Yusuf yang bertujuan agar anak
yang dikandung memiliki paras yang rupawan seperti Nabi Yusuf, dan juga membaca
surat Mariyam yang bertujuan agar anak yang dikandung memiliki paras yang
cantik seperti Mariyam, kedua siraman yang
dilakukan oleh sesepuh dan suami, Ketiga, setelah siraman selesai,
dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh
sang suami, Keempat Upacara ganti pakaian 7 kali dan kain batik dengan 7 motif yang
berbeda, kelima Tebu tulak, benang putih
dan atau janur kuning diputus oleh suami menggunakan sebilah keris, dan lain
sebagainya.
Hukum dari tradisi selamatan nujuh bulanan
secara berlebihan, seperti memecahkan kendi dengan cara melempar hukumnya
adalah haram. Karena dalam Islam melarang perbuatan yang mengandung unsur
berlebihan (Mubadzir).
SARAN
Indonesia terdiri dari beragam kebudayaan,
salah satunya adalah budaya Mithoni atau biasa dikenal dengan nuju bulanan.
Mithoni ini bukan hanya di kerjakan oleh masyarakat jawa saja namun, tradisi
ini dirayakan oleh budaya betawi, sunda, dan lain sebagainya. Oleh karena itu
sebaiknya kita saling menghormati perbedaan yang terdapat dalam tradisi
tersebut. Karena Maksud dan tujuan dari
upacara ini beragam, maka sangatlah penting untuk kita hormati. Walaupun ada sebagian yang mengarah pada
perbuatan syirik, kita harus menghormati adanya kepercayaan yang terkandung
dalam upacara slametan. Tidak lain adalah sikap multikulturalisme yang sangat
dibutuhkan untuk menghadapi masalah-masalah perbedaan maksud dan tujuan
diadakannya prosesi slametan.
Dalam merayakan tradisi Mithoni, sebaiknya
tidak dilaksanakan secara berlebihan. Karena dalam Islam berlebih-lebihan
(Mubadzir) adalah perbuatan yang haram dan dilarang oleh agama, selain itu
dalam ayat Al_Qur’an disebutkan bahwa perbuatan mubadzir adalah termasuk
perbuatan setan dan yang mengikutinya termasuk kawan dari setan.
DAFTAR PUSTAKA